Breaking

Jumat, 27 November 2020

November 27, 2020

Memaknai Maulid Meneladani Nabi





Tentang Kehidupan Rasulullah Muhammad SAW

RASULULLAH Muhammad SAW adalah satu-satunya rasul yang diutus untuk semua ras dan golongan. Ajaran yang dibawa olehnya merupakan ajaran yang universal, tidak hanya cara ibadah dan keyakinan keakhiratan, namun juga urusan duniawi yang mencakup semua sisi kehidupan manusia, mulai dari urusan makan sampai kepada ketata-negaraan.

Bulan Rabiulawal merupakan bulan agung, bulan kelahiran baginda Rasulullah saw. Rasulullah dilahirkan oleh seorang ibu bernama siti Aminah pada Isnin/Senin 12 Rabiulawal tahun Gajah, dalam keadaan yatim, karena ayahnya bernama Abdullah bin Abdul Muthalib telah meninggal dunia saat Muhammad masih didalam kandungan.

Ketika Muhammad tumbuh dewasa, beliau menjadi orang yang sangat dihormati oleh kaum Quraisy Makkah. Karena sifat beliau yang jujur dan cerdas, sehingga beliau diberi gelar “Al-Amin”.

Pada usia ke-40, beliau mengemban amanat ke-Rasulan dengan turunnya wahyu yang pertama kali (QS Al-Alaq : 1-5). Pada masa awal, beliau berdakwah menyebarkan ajaran Islam secara sembunyi-sembunyi, sebelum akhirnya terang-terangan hingga beliau dan pengikutnya harus terusir dari Makkah dan Hijrah ke Madinah. Pada usia 63 tahun, beliau wafat, setelah merubah peradaban kegelapan menjadi peradaban yang tercerahkan oleh cahaya yang terang benderang.

Maulid Nabi dan Perkembangannya

Pada awal mulanya, Rasulullah saw semasa hidupnya tidak pernah memperingati ataupun merayakan hari kelahirannya. Bahkan ke-Khalifahan setelah beliau pun tidak pernah ada perayaan maulid nabi.

Menurut sebagian sejarawan, peringatan kelahiran Nabi ada sejak zaman dinasti Fatimiyah, sedangkan sebagian yang lain menerangkan sejak zaman Salahudin Al-Ayyubi[iii]. Memang belum ada referensi yang benar-benar tepat untuk menjelaskan awal mula Peringatan Maulid Nabi.

Sebagian sejarawan berpendapat bahwa peringatan maulid nabi pada zaman Shalahudin Al-Ayyubi, dimaksudkan untuk membangkitkan semangat jihad kaum Muslimin menghadapi tentara salib. Sehingga pada masa itu diadakan kompetisi dalam mempersiapkan peperangan.

Sebagian kaum Muslimin yang menentang maulid, begitu pula sejarawan Barat menyebutkan bahwa perayaan maulid bersumber dari dinasti Fatimiyah (909-1171 M) yang berfaham Syi’ah Isma’iliyah. Selain maulid nabi, dinasti Fatimiyah juga mengadakan maulid Ali dan beberapa maulid keluarga nabi lainnya. Bahkan disebutkan maksud diadakan perayaan maulid nabi adalah sebagai syiar kaum salib, karena memiliki dasar-dasar aqidah yang mirip dengan Majusi dan Yahudi.

Terlepas dari perbedaan dengan Ahlussunah, dinasti Fatimiyah pada masa itu juga berperang menghadapi kaum salib. Sehingga pendapat sebagian Muslimin dan sejarawan barat merupakan tuduhan yang terlalu mengada-ada.

Al-Qalqashandi dalam kitab Subh al-Asya jilid III menyebutkan bahwa perayaan maulid pada dinasti Fatimiyah hanya dihadiri oleh pembesar kerajaan. Setelah para pembesar berkumpul, hidangan disajikan kemudian acara dimulai dengan pembacaan ayat Al-Qur’an, kemudian dilanjutkan dengan khutbah selama III kali berturut-turut dengan khotib yang berbeda.

Memperingati Maulid Nabi

Secara bahasa maulid Nabi bermakna ‘waktu kelahiran’, atau ‘tempat kelahiran’ Nabi saw. Setiap tanggal 12 Rabiulawal, perayaan maulid dilakukan di hampir seluruh negara Islam. Sampai dengan saat ini, masih banyak pro-kontra menyelimuti perayaan maulid Nabi.

Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, perayaan maulid Nabi (Muludan) dilakukan oleh Wali Songo untuk sarana dakwah dengan berbagai kegiatan menarik masyarakat agar mengucapkan Syahadatain sebagai tanda memeluk Islam. Oleh karena itu, awal mula tersebar luaskannya Islam di bumi nusantara ini, salah satunya adalah dengan cara perayaan maulid nabi.

Para Wali menyusun strategi agar agama Islam bisa diterima oleh masyarakat, karena Islam merupakan agama yang damai dan mudah diterima. Pada dasarnya ajaran wali tersebut adalah makna Syahadatain-nya yang sakral dan diutamakan, bukan prosesi-prosesi dalam perayaannya.

Allah SWT menyerukan kepada seluruh manusia beriman untuk memuliakan Rasulullah, menolong dan mengikuti ajarannya. Maka Allah SWT menjanjikan pada orang yang memuliakan dan mengikuti Rasulullah, bahwa Dia akan melimpahkan rahmat-Nya kepada orang yang bertaqwa, menunaikan zakat dan beriman kepada Ayat-ayat-Nyatersebut.

“ (Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang Ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

(QS Al-A’raf : 157)

Perayaan Maulid Nabi Sekarang

Di Yogyakarta dan Surakarta (dahulu wilayah kerajaan Mataram), perayaan maulid nabi dikenal dengan nama “sekaten”. Nama sekaten merupakan pengucapan jawa dari lafadz sebenarnya “syahadatain”. Tradisi sekaten diawali oleh Wali Songo dalam masa penyebaran Islam di Jawa.

Dalam perayaan maulid Nabi, 7 hari sebelum tanggal 12 Rabiulawal, dibunyikan suara gamelan untuk mengundang masyarakat untuk berkumpul. Setelah masyarakat berkumpul, kemudian dijelaskanlah riwayat hidup Nabi Muhammad dan ajaran Islam yang dibawanya. Masyarakat selanjutnya dibimbing untuk masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat Syahadat.

Sampai sekarang tradisi sekaten masih dirayakan di kesultanan Yogyakarta dan Surakarta. Bahkan, sejak sekitar 10 tahun lalu tradisi sekaten menjadi ajang komersil, yakni dengan adanya pasar malam dan hiburan-hiburan lainnya.

Dalam perayaan maulid Nabi yang digelar, setidaknya dapat mengingatkan kita pada perjuangan para Wali Songo dalam menyebarkan Islam. Maulid Nabi juga dapat mengingatkan kembali umat Islam tentang kelahiran Rasulullah saw, manusia terbaik yang pernah ada, dan perjuangan-perjuangan beliau. Namun, seringkali kita melihat perayaan maulid Nabi tidak sesuai dengan esensinya.

Zaman dahulu, momen maulid digunakan sebagai penguatan Islam baik secara Aqidah maupun ukhuwah dan semangat Jihad. Sekarang maulid hanya dimaknai sebagai ritual-ritual yang disakralkan bahkan menjadi ajang komersil. Ada juga yang merayakan maulid nabi dengan cara-cara sesat, yang merusak aqidah, dengan sesaji-sejaji yang pada umumnya hasil bumi, yang dipersembahkan untuk ruh, dan kemudian diperebutkan beramai-ramai oleh masyarakat. Itu adalah hal kurang cerdas masyarakat kita, dengan mengatasnamakan cinta kepada Rasul.

Berdasar cinta dan memuliakan Rasul, sehingga mereka mengharap syafaat dari Rasulullah saw. Allah SWT telah menjelaskan dalam firman-Nya :

“Katakanlah (Muhammad),”Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi diriku kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan tidak akan ditimpa bahaya. Aku hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”

(QS Al-A’raf : 188)

Sikap Mentauladani Rasul

Semestinya momen maulid Nabi, dapat kita maknai sebagai kesempatan kita untuk introspeksi diri. Menyadari bahwa diri kita masih jauh dari ajaran dan sifat-sifat Rasul. Meluruskan Aqidah kita jangan sampai ternodai dengan kesyirikan.

Membenarkan praktek ibadah kita yang masih kurang, salah dan belum sesuai dengan apa yang dituntunkan Nabi. Memperbaiki akhlaq kita dengan mencontoh akhlaqul-karimah yang dicontohkan Nabi, karena tidaklah Rasulullah saw diutus, kecuali untuk menyempurnakan akhlaq.

Rasulullah dikenal dengan julukan “Al-Amin”, jujur dan dapat dipercaya, untuk itu, kita sebagai umatnya harus bisa mencontoh kejujuran beliau. Rasul memiliki sikap lemah lembut, tidak bersikap keras dan berhati kasar, pemaaf dan memohonkan maaf untuk orang lain, oleh karenanya kita harus dapat menjadikan Rasulullah benar-benar menjadi suri tauladan dan acuan dalam segala tindakan kita. Sikap-sikap Rasul, Allah terangkan dalam firman-Nya sebagai berikut :

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.”

(QS Ali Imran :159)

Masih banyak sifat-sifat terpuji Rasulullah yang semestinya kita contoh. Baik dalam segi kepribadian dan keseharian beliau hingga segi kepemimpinan dalam mengelola negara.

Untuk itu, dalam tulisan ini kami hanya mengingatkan kepada diri kita sendiri serta pembaca sekalian untuk memaknai momentum Maulid Nabi dengan cara-cara yang benar, yaitu sebagai ajang mengingat ajaran dan sifat-sifat Rasul dan selalu mencontohnya. Karena beliau-lah suri tauladan yang baik bagi kita semua. Allah berfirman :

 “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”

 (QS Al-Ahzab : 21)

Kemudian yang kedua, mari kita gunakan momen Maulid, untuk memperkuat ukhuwah Islam, Allah SWT menyuruh kita untuk saling mengingatkan dan saling menasehati dan kebaikan dan sabar (QS Al-Ashr :3), bukan malah saling menyalahkan dan membuat agama Islam menjadi terpecah belah. Perpecahan itulah yang dilarang oleh Allah SWT (QS Ali-Imran : 103).

“Dan berpegang-teguhlah padatali (agama) Allah, dan Janganlah bercerai-berai….”

(QS Ali-Imran : 103)

Wallahu a’lam bi ash-shawaab.

Billahi fii sabililhaq-Fastabiqul Khairaat

Kamis, 26 November 2020

November 26, 2020

Melindungi Xanthostemon dari Kepunahan

Xanthostemon chrysantus


Namanya terdengar asing, Xanthostemon. Merupakan salah satu marga dalam famili tumbuhan Myrtaceae (jambu-jambuan).


Tumbuhan ini diketahui ada 45-50 spesies, yang tersebar di Kaledonia Baru, Australia, Kepulauan Solomon, Papua Nugini, Indonesia dan Filipina (Wilson 1990). 


Diantaranya X. oppositifolius, X. chrysanthus, X. youngii, X. verdugonianus dan X. formosus (Australia), X. confertiflorus, X. natunae, X. petiolatus, X. verus, dan X. novoguineensis atau X. papuanum (Indonesia/Papua), X. melanoxylon (Kepulauan Solomon), serta X. fructicosus (Filipina). 


Pegunungan Cycloop Jayapura menjadi salah satu endemik Xanthostemon, khususnya X. novoguineensis Valeton (Xanthostemon merah) atau dikenal dengan nama daerah Sowang. 


Hasil penelitian Gunawan (2005), menunjukkan kayu Sowang tergolong tahan terhadap serangan perusak kayu, yakni rayap tanah, penggerek kayu di laut, cendawan pelapuk putih dan cendawan pelapuk cokelat. 


Xanthostemon mudah beradaptasi pada habitat kering, kurang subur, bahkan toleran pada tanah dengan kondisi asam (pH 2-2,5). Tumbuhan ini juga sering dimanfaatkan dalam remediasi lingkungan tercemar. 


Bunga tanaman ini mirip dengan bunga jambu air. Majalah Trubus pernah menjulukinya "si kembang api". Karena saat mekar, bunganya sangat indah layaknya pesta kembang api. 


Dalam kelopak bunganya, terkandung nektar melimpah, yang menjadi sumber pakan utama bagi berbagai jenis burung seperti Jalak, Betet, Perkici, serta serangga seperti lebah dan semut. 


Malaysia dan Singapura memanfaatkan peran ekologis Xanthostemon, khususnya spesies X. chrysanthus (Xanthostemon kuning) dengan menanamnya sebagai vegetasi pada infrastruktur ruang terbuka hijau (Nazarudin dkk 2015). 


Di Australia, Xhantostemon hanya berbunga (lebat) saat musim semi. Sementara di daerah iklim tropis seperti Indonesia, tanaman ini dapat berbunga sepanjang tahun. Apalagi bila tumbuh di lokasi dengan intensitas cahaya tinggi. 


Banyak peternak lebah madu, khususnya jenis Trigona (Klanceng) memanfaatkan tanaman ini sebagai salah satu vegetasi sumber pakan utama. Selain karena nektarnya, perbanyakan tanaman ini juga cukup mudah, bisa dari biji maupun dikembangbiakkan dengan cangkok atau stek Batang. 


Namun sayangnya, di Jayapura yang merupakan salah satu habitat aslinya (khususnya spesies X. novoguineensis), beberapa tahun belakangan ini kayu Sowang dieksploitasi besar-besaran sebagai bahan arang, sehingga populasi tanaman ini menurun drastis (Wilujeng, Sambiak 2015). 


Agar tidak punah, perlu dilakukan upaya konservasi tanaman potensial ini. Tak cukup hanya di habitat aslinya. Pengembangan Xanthostemon perlu dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan jika perlu, di setiap pekarangan rumah ada spot khusus bagi tanaman ini. 


Apalagi jika Anda adalah pembudidaya tawon (lebah) klanceng (stingless bee), menanam Xanthostemon ini hukumnya fardhu a'in. Lingkungan semakin asri, lebah giat produksi, dan sekaligus menyelamatkan Xanthostemon dari ancaman kepunahan. 


Lalu hari ini, sudahkah kita menanam Xanthostemon di pekarangan rumah? 

Selamat menanam! 


Rifqi Khoirul Anam | Anggota Himpunan Budidaya Tawon Klanceng Indonesia (HIBTAKI)

Selasa, 30 Juni 2020

Juni 30, 2020

Service Dahulu untuk Aktivitas Sepanjang Waktu



Kalo hidup kita ibarat sepeda motor. Dipakai kesana-kemari untuk apa saja. Kadang kepanasan, kadang kehujanan.

Tak disangka terkadang oli sudah kering, mati busi, kampas rem menipis. Sebelum mesin macet sewaktu di perjalanan, perlu dicek dahulu.

Terkadang motor pun perlu diservice. Setiap 2.000 km atau tiap beberapa waktu yang ditentukan. 

Begitu pula dalam hidup kita. Usai berbulan-bulan digunakan tak terkendali, perlu ada sejenak waktu untuk menservice-nya.

Tubuh kita adalah made-by Allah Swt, jadi Allah yang tahu kapan harus diservice. Sebelum oli-nya kering, Allah menyiapkan satu bulan untuk masa service.

Ialah Bulan Ramadhan. Kesempatan untuk test mesin, sebelum dapat digunakan kembali. Test kemampuan sholat, kemampuan menahan diri dan kepekaan sosial kita. Diasah, sudahkah layak untuk kita pakai lagi?

Jadi tak perlu bersedih tatkala Ramadhan meninggalkan kita, malah kitalah yang harus siap meninggalkan Ramadhan untuk aktivitas panjang di bulan-bulan lain. Setelah diservice berarti ada perubahan. Mesin jadi lebih mulus. Sekali gas melesat jauh. 

Ini saat bagi kita mengarungi kehidupan yang lebih nyata. Menghadapi puasa-puasa yang sebenarnya di bulan-bulan lain. Menahan diri dari nafsu dan ambisi duniawi. Cek mesin lagi.

Siapkah istiqomah shalat malam di bulan lain? Siapkah kita memakmurkan masjid, bershodaqoh, memberi makanan yang lapar, sepanjang waktu?


 


Rifqi Khoirul Anam

*Dalam pengantar Buku Khutbah Iedul Fitri Islam Media PCPM Weleri

Minggu, 01 Juli 2018

Juli 01, 2018

Kisah Cinta dari Aktivis Hingga di Ruang Hemodialisis



Nikmah Yuana satu almamater dengan Mas Teguh di Undip. Namun mereka belum kenal sewaktu masa kuliah, lantaran beda fakultas. Nikmah di FE, sedang Mas Teguh di FISIP. Kantor atau posko ICMI-lah yang berjasa memperkenalkan keduanya. Di sana pertama kali mereka dipertemukan. Di Posko ICMI? Betul, Nikmah dan Mas Teguh memang sesama aktivis pergerakan mahasiswa Islam. Di ruang diskusi itu, dari situ, kemudian ‘cinta’ dimulai.

Meskipun biasa lantang berorasi, Mas Teguh bukanlah ahli soal perempuan. Pedekate-nya dengan Nikmah tak terlalu organik karena di-comblangin teman-temannya. Entah kenapa, Nikmah yang awalnya juga malu-malu itu, kemudian mantap menerima Mas Teguh. Hingga akhirnya, cinta berlanjut ke pernikahan 29 Agustus 1999.

Nikmah menjadi dosen dan Mas Teguh aktif di partai politik. Mereka menetap di Kota Semarang. Menjadi keluarga kecil sederhana, cukup dan bahagia. Bulan Juni tahun 2000, kebahagiaan bertambah tatkala lahir putra pertama mereka, disusul putra kedua di tahun 2003.

Waktu berjalan. Kisah cinta Nikmah dan Mas Teguh tidak berjalan mulus begitu saja. Bumbu-bumbu konflik mulai datang. Cinta mereka diuji, dengan ujian kesetiaan. Tapi bukan perselingkuhan, orang ketiga, atau berebut harta seperti kisah manusia pada umumnya. Kehidupan mereka mulai berubah ketika Teguh sang suami, divonis gagal ginjal. Saat itu, raut muka kebahagiaan tiba-tiba meredup, menjadi kesedihan.

Gagal ginjal merupakan penyakit degeneratif yang mengakibatkan penderitanya mengalami penurunan kemampuan fisik dan ingatan. Bahkan, harus rutin menjalani hemodialisis (cuci darah), paling tidak 2 kali dalam sepekan. Mas Teguh kerap tiba-tiba tak sadarkan diri, atau terkadang meracau dan marah-marah.

Bagi mereka musibah ini bukanlah hal kecil. Pasalnya passion keduanya merupakan aktivis, yang terbiasa memiliki mobilitas dan idealisme tinggi. Tiba-tiba datang suatu kondisi yang hendak membatasi mereka. Bagai sebuah sangkar yang tak hanya mengurung fisik, namun juga memenjarakan ide pemikiran.

Atau bisa jadi ini menguji ke-aktivisan mereka. Jika benar mengaku aktivis maka perlu dibuktikan ketahanannya menghadapi kondisi itu? 

Melalui buku CINTA DI BALIK KELAMBU HEMODIALISIS ini, Nikmah Yuana menceritakan kisah cintanya dengan Mas Teguh, suaminya. Saat pertemuan pertamakali, kehidupan rumah tangga, hingga saat-saat mendampingi suaminya menjalani rutinitas hemodialis (cuci darah). Alur cerita sengaja dibuat maju-mundur, barangkali supaya lebih nikmat dibaca.

Mas Teguh terkena gagal ginjal setelah sebelumnya ia didera diabetes.  Itu yang kemudian menjadi tantangan berat bagi Nikmah dalam menjalani kehidupan keluarganya. Namun, Nikmah bukan orang yang gampang menyerah begitu saja.  

Di buku ini pula, Nikmah menjelaskan secara detail apa saja yang dialami suaminya, bagaimana ia memperlakukan suaminya serta usaha-usahanya untuk kesembuhan sang suami. Ia mengakui pernah melakukan kesalahan. Membawa suami ke pengobatan alternatif, yang ternyata bukannya sembuh malah semakin memperburuk keadaan. Secara tidak langsung penulis hendak berpesan agar berhati-hati dalam memilih pengobatan.

Meskipun begitu, Nikmah membeberkan bahwa ia termasuk beruntung. Karena memiliki teman yang siap sedia membantunya disaat ia kesulitan. Dialah yang ia sebut ‘Teman Siaga’.

Buku ini berbeda. Jika buku lain ditulis dari sudut pandang medis, atau cerita seorang pasien gagal ginjal, buku ini ditulis dari perspektif pendamping pasien gagal ginjal. Bukan berarti buku ini menjadi minus, namun justru perspektif inilah yang kemudian menjadikan buku ini layak untuk dibaca siapa saja.

Judul: Cinta di Balik Kelambu Hemodialisis 

Penulis: Nikmah Yuana 

Penerbit: Edents Publika

 Ukuran: 11 x 18 cm

 Tebal: 254 halaman


Memang bukan hal mudah bagi Nikmah, sebagai seorang dosen sekaligus penggiat rumah baca, kemudian harus siap sedia melayani sang suami yang terkena gagal ginjal. Di balik semua itu, ada satu kekuatan yang membuat dia tetap tegar menghadapi ujian rintangan dalam hidupnya. Apa itu? Baca saja!

 
Baca juga: WWW.EDENTSPUBLIKA.COM

Kamis, 08 Maret 2018

Maret 08, 2018

Menawarkan Gerakan Sadar Ekologi-Agraria

Sumber foto: Suara Nasional


Indonesia Darurat Ekologi-Agraria
Konflik agraria di Indonesia semakin memprihatinkan. Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat sepanjang tahun 2015 terjadi 252 kasus dengan luasan 400.430 hektar dan melibatkan 108.714 keluarga. Dari banyaknya kasus tersebut, tercatat korban tewas lima orang, tertembak aparat 39, luka-luka 124 dan ditahan (dikriminalisasi) 278 orang.

Dari sebaran wilayah konflik, Riau menempati urutan pertama dengan kasus terbanyak (14,4%). Kemudian disusul Jawa Timur (13,6%), Sumatera Selatan (9,2%) dan Sulawesi Tenggara (6,4%). Sedangkan Jawa Tengah menyumbangkan angka kasus ekologi dan agraria sebanyak 3,6%.

Di Jawa Tengah misalnya, kasus konflik agraria terjadi dibeberapa kawasan. Diantaranya konflik sengketa lahan antara petani dengan militer di pesisir pantai Urutsewu, Kebumen. Tercatat beberapa kali terjadi tindak kekerasan dilakukan pihak militer kepada warga yang melakukan aksi penolakan atas klaim tanah selebar 500 meter dari bibir pantai sepanjang 22,5 km tersebut, oleh pihak militer. Kasus yang terjadi di 13 desa di 3 kecamatan (bulus pesantren, ambal dan mirit) tersebut, sampai sekarang belum ada titik temu.


Selengkapnya:


Maret 08, 2018

Kampus, Petani, Organisasi Pemuda dan Jurnalisme




‘Banyak Sarjana Pertanian, tapi kenapa masih impor?’, pertanyaan tersebut umum ditanyakan oleh kebanyakan orang kepada mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di Fakultas Pertanian. Pertanyaan tersebut membuat kita berfikir kembali, pertama, kenapa pertanyaan tersebut bisa muncul, serta sebetulnya apa masalah yang sedang terjadi?.
Salah satu problem pertanian adalah produksi. Buktinya Indonesia masih saja mengimpor bahan pangan dari luar. Tercatat pada tahun 2014, pemerintah harus mengimpor beras[iii] sebesar 844.163 ton[iv] dan 222.000 ton pada bulan Januari-Juli 2015[v]. Jadi memang benar kalau ada pertanyaan ‘kenapa masih impor’, namun yang menjadi pertanyaan adalah apa keterkaitan Sarjana Pertanian ?.
Selengkapnya:



Download Pdf.



Baca juga www.edentspublika.com

Selasa, 20 Februari 2018

Februari 20, 2018

Perkembangan Budaya Tani dan Progresifitas Benih; Memahami Teori Kesejajaran Sadjad


Sjamsoe’oed Sadjad dalam bukunya ‘Dari Benih Kepada Benih’ (Grasindo,1993) menyampaikan pemikiran besarnya tentang benih, yaitu Teori Kesejajaran Sadjad. Sadjad memiliki pemikiran bahwa terjadi kesejajaran antara budaya tani dan budaya benih. Kesejajaran tersebut diketahui dari perkembangan budaya tani dari budaya manusia purba sampai manusia modern yang bisa ditarik satu garis lurus (sejajar) dengan batasan pengertian benih hasil pemikiran Sadjad, yaitu benih adalah biji, benih tidak sama dengan biji, benih dalam konteks agronomi, benih sebagai wahana teknologi maju dan benih sebagai wahana bioteknologi. Teori Kesejajaran bukan hanya menjadi referensi bagi peminat ilmu benih, implikasi teori tersebut juga berpengaruh pada munculnya kualifikasi industri benih, serta munculnya desain baru tentang relasi manusia dengan bidang perbenihan yang disebut Sadjad sebagai ‘orang benih’.

Perkembangan budaya tani dapat dilihat dengan klasifikasi status atau tingkat pengetahuan petani dalam melangsungkan budidaya tanaman yang juga tidak terlepas dari faktor sejarah. Sedangkan progresifitas benih dapat diukur dari batasan pengertian benih yang terus mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, berdasar pada tingkat pengetahuan petani, Sadjad membagi status budaya tani menjadi 5 kelas, yaitu primitif, sederhana, madya, modern dan canggih.

Selengkapnya: